Lukisan Indah kebijaksanaan

October 2, 2010

Terowongan gelap tidak berujung, mungkin itu metafora kehidupan  zaman ini. Kekayaan kehidupan anak-anak biasanya harapannya akan masa depan.  Dan tatkala tua, tidak sedikit  yang membangga-banggakan masa lalu.
Keadaannya mirip dengan kucing yang mengejar  bayangannya sendiri. Di pagi hari (masa muda) bayangannya ada di barat,  dikejar  dan tidak ketemu. Di sore hari (umur tua) bayangannya ada di timur, lagi-lagi dikejar juga tidak ketemu. Sadar bahayanya ini, ada yang memotong lingkaran kegelapan ini dengan meyakini kehidupan berawal di masa sekarang dan berakhir di masa sekarang.
Masa lalu telah berlalu, masa depan belum datang. Namun melalui tindakan di masa kini, keduanya bisa dibuat semakin terang atau semakin gelap. Sebutlah Ibu yang sudah meninggal namun belum sempat dibahagiakan. Masa lalu ini membuat kehidupan semakin suram kalau masa kini diisi dengan penyesalan, rasa bersalah, tidak bisa memaafkan diri sendiri. Sebaliknya ini bisa menjadi awal terang, kalau pengalaman tidak mengenakkan ini dijadikan titik awal untuk banyak membahagiakan orang.
Di Tibet, mahluk hidup diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi mother being. Terutama karena diyakini kalau semua mahluk pernah menjadi  Ibu kita di masa lalu. Dengan demikian, bila rajin membahagiakan orang atau mahluk lain,  kita juga sudah membahagiakan ibu. Di samping itu, membahagiakan orang adalah salah satu persiapan terbaik menyongsong masa depan. Inilah transformasi spiritual, rasa bersalah akan masa lalu serta ketakutan akan masa depan, diolah di hari ini sekaligus dinikmati di hari ini.
Guru sebagai cahaya
Inilah tanda-tanda manusia yang mulai terbimbing. Dalam setiap kejadian (menyenangkan maupun menjengkelkan) tersedia cahaya-cahaya bimbingan. Di Timur, ia disebut sebagai munculnya  guru simbolik. Tidak ada kebetulan, semuanya hanya bimbingan-bimbingan. Cuman, sebagian bisa dimengerti kini, sebagian lagi  bisa dimengerti nanti.
Sayangnya, teramat sedikit manusia yang lahir di zaman ini memiliki  berkah spiritual berjumpa guru. Untuk itulah, bagi orang-orang mengagumkan seperti Jalalludin Rumi, perjumpaan dengan guru adalah sebuah berkah spiritual yang sangat disyukuri.  Segelintir sahabat yang diberkahi berjumpa guru menyebutkan hanya dengan mendengar namanya saja sebagian ketakutan akan neraka langsung sirna.
0leh sebab itulah, tidak sedikit pencari yang menghabiskan waktu, tenaga, dana untuk mencari guru. Idealnya, pencaharian dimulai dengan berjumpa guru hidup. Kemudian perintah-perintah guru hidup ini diperkaya  oleh guru dalam bentuk buku suci. Ia yang sudah memadukan guru hidup dengan buku suci  kemudian berjumpa guru simbolik dalam keseharian. Puncaknya tercapai ketika ketiga guru ini kemudian menjelma menjadi guru di dalam diri. 0rang jenis ini seperti membawa lentera ke mana-mana. Tidak ada lagi kegelapan yang tersisa.
Kematian sebagai pencerahan
Bagi orang-orang yang belum diberkahi perjumpaan dengan guru hidup, disarankan menjaga diri baik-baik dengan etika. Praktik serius etika ini mungkin juga  membimbing seseorang  menjumpai guru simbolik. Dan diantara demikian banyak guru simbolik, kematian adalah guru simbolik yang paling agung.
Perhatikan pendapat Dzogchen Ponlop dalam Mind beyond death:  “in order to die well, one must live well“.  Agar matinya indah, belajarlah hidup secara indah . Makanya tidak sedikit guru meditasi yang menggunakan kematian sebagai sumber air perenungan yang tidak habis-habis. Pertama-tama meditator membayangkan tubuhnya mati. Badan kaku, warnanya membiru, orang-orang dekat menangis dan seterusnya.
Diterangi cahaya keikhlasan, kematian terlihat sebagai kembalinya unsur-unsur badan ke rumah aslinya. Unsur tanah kembali ke tanah, unsur air kembali ke air, unsur api kembali ke api, unsur udara kembali ke udara, unsur ruang kembali ke ruang. Dalam bahasa tetua Bali, kematian disebut mulih ke desa wayah (pulang ke rumah sesungguhnya).
Ia yang  merenungkan kematian dalam-dalam, jadi lebih tenang, santun, baik, rendah hati. Bukankah ketenangan dan kebajikan adalah teman paling berguna dalam kematian? Di samping itu kematian juga berubah wajah menjadi guru simbolik yang membimbing menapaki tangga-tangga kemulyaan. Mungkin ini sebabnya St. Paul pernah mengemukakan l die every day.
Bila boleh jujur, setiap hari kita mengalami kematian. Seusai makan pagi, kita berpisah dengan rasa enak (matinya rasa enak di mulut). Berangkat ke kantor, manusia berpisah dengan rasa nyaman di rumah (matinya rasa nyaman tinggal di rumah). Mengakhiri meditasi, meditator berpisah dengan keindahan konsentrasi (matinya kedamaian meditasi). Dalam wajahnya yang mendasar,  kematian menakutkan karena  adanya perpisahan. Bila terbiasa dengan perpisahan sehari-hari, maka perpisahan melalui kematian pun akan menjadi sesuatu yang biasa.
Meminjam ajaran Tibetan book of the dead, wajah kematian terindah ketemu ketika semua tahapan-tahapan antara kematian dengan kehidupan berikutnya (bardo) terlewati secara tenang-seimbang. Makanya disarankan untuk memperlakukan semua kejadian dalam hidup (dipuji-dicaci, sukses-gagal, meditasi sampai mimpi) sebagai bardo.  Tidak ada apa-apa, yang menyenangkan maupun menakutkan hanya pancaran dari kesadaran murni. Sebagaimana dinyanyikan berulang-ulang oleh   pertapa Milarepa: “death is not a death for a yogi; it is a little enlightenment“. Dalam kehidupan pertapa, kematian muncul tanpa ditemani ketakutan, ia hanya sebuah pengalaman kecil pencerahan.
Inilah ujung terowongan kegelapan.  Kemudian muncul cahaya-cahaya bimbingan. Kegagalan, ketakutan dan  bahkan kematian pun memancarkan sinar terang pengertian. Serangkaian wajah guru-guru simbolik. Karena ketakutan akan kematian adalah ibunya semua ketakutan, maka begitu ia lenyap, ketakutan lain pun  ikut sirna. Sebagai hasilnya, batin menjadi bersih dan jernih sempurna.   Cirinya cara memandang, niat, kata-kata, perbuatan, sumber penghasilan, daya upaya, perhatian dan konsentrasi semuanya menjadi  serba bijaksana. Kehidupan kemudian berubah wajah menjadi lukisan indah kebijaksanaan. Gambarnya cinta, bingkainya keikhlasan.
Di Ubud Bali ada wanita bule yang tidak lagi muda tekun sekali memelihara anjing-anjing liar  tidak bertuan. Kendati pengertiannya akan cinta tidak terlalu mendalam, dengan tekun ia tetap melakukannya dalam waktu lama. Pengertian yang disertai keraguan kadang menjadi penghalang keikhlasan. Kehidupan wanita bule ini sedang menggoreskan  tinta-tinta keindahan: cinta dan keikhlasaan melukis kebijaksanaan.

0 comments: